crot
Category
PornStar
Porn Pict
Sex Stories

read sex story selamat pagi cinta 4


Sore menjelang saat Ray melangkah menuju ruangan Pak David sambil menenteng map merah di tangan. Pemuda itu mendapati ruangan itu sudah kosong. Tak berapa lama setelah Ray masuk, Ella muncul di depan pintu.

"Pak David sudah pulang, Ray."

"Wah, kok aku ngga tahu ya?" gumam Ray, lalu mendekati Ella dan menyerahkan map merah di tangannya, "Ini, aku ngga tahu apa salahnya. Mungkin cuma perlu penambahan sample buat mahasiswa. Lagipula itu kan ngga ada hubungannya denganku. Dasar Pak David saja yang kelewat baik liat aku nganggur."

Ella tersenyum dan menerima map yang disodorkan Ray.

"Oke, aku saja yang masukkan ke lemari arsip."

"Thanks," sahut Ray pendek, lalu melangkah keluar. Baru selangkah di luar pintu, pemuda itu membalikkan tubuh.

"La, kamu nganggur malam ini? Semoga tidak. Soalnya aku nganggur. Dan kayaknya aku butuh teman buat ngobrol sambil makan malam. Bagaimana?"

Ella menoleh dan membetulkan letak kacamatanya.

"Huh? Malam ini. Iya.. eh, aku ada acara. Sori, Ray."

Ray tersenyum, "Bohong. Tapi ya sudahlah. Omong-omong, kamu pakai bra warna putih ya? Bagus tuh. Sayang terlalu berenda, kamu jadi nampak tua."

"Ha? Kurang ajar benar," maki Ella, tanpa sadar merapikan kaus dalamnya yang memang sedikit turun. Ray terkekeh dan melambai sambil melangkah pergi.

Suasana kantor benar-benar sudah sepi saat Ray selesai merapikan mejanya, bahkan Yossi tak tampak batang hidungnya. Pemuda itu baru saja hendak menekan tombol elevator, saat elevator itu membuka dan sosok seorang pria melangkah keluar dengan terburu-buru. Ray menoleh dan melihat pria berjaket kulit hitam itu berjalan cepat dan menghilang di balik lorong menuju ruangan Pak David. Ray melirik sekilas ke arah jam di dinding lorong. Pukul enam kurang seperempat. Ray mengeluh, mungkin ia harus benar-benar berburu lagi malam ini. Atau sebaiknya ia pulang dan menikmati sehari berlibur dari wanita? Bingung sendiri, Ray masuk ke dalam elevator, tepat sebelum elevator itu menutup.

"AA!!"

Ting-tong.

"Hey! Hey!!" Ray menahan pintu elevator sekuat tenaga. Gagal, pemuda itu lalu mulai memencet tombol pembuka di panel samping pintu elevator. Begitu pintu itu membuka, Ray langsung berlari menuju ruangan Pak David.

Pria itu menubruknya. Ray mengaduh dan sempat terhuyung.

"Minggir!" Ray mendengar suara yang serak dan berat. Saat pemuda itu kembali pada keseimbangannya, pria berjaket kulit hitam sudah berlari menuju elevator.

"Monyet!" umpat Ray, lalu ia tersadar sesuatu. Cepat Ray berlari menuju ruang Pak David. Di sana ia mendapati sosok Ella
terduduk di atas kertas yang berceceran. Sanggul kecil di kepala gadis itu tertarik lepas, membuat rambut-rambut panjang kusut menutupi wajahnya.

"La? La? Hey!" Ray menekuk lututnya di samping Ella. Sedikit terkejut pemuda itu melihat darah segar di sudut bibir si gadis.

"Uhh," Ella terdengar menggumam. Sesaat kemudian, seperti tersengat arus listrik, lengan gadis itu mendorong tubuh Ray
sampai terduduk.

"Ray? Jangan!"

Ray hanya bengong melihat Ella meraba-raba lantai, mencari kacamatanya. Ray melirik dengan matanya, dan melihat kacamata yang pecah itu di bawah meja kerja Pak David.

"Di sana, di bawah meja," ucap pemuda itu. Ella hanya mengerang, lalu mengulurkan tangannya. Si gadis tampak sedih saat memegangi benda yang lebih mirip ayam penyet daripada kacamata itu.

Sesaat kemudian gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap Ray sambil memicingkan mata. Sekejap Ray merasa risih, karena raut gadis yang ada di depannya sama sekali tak menunjukkan bahwa ia adalah Ella, si sekretaris kolot. Ray jadi teringat serial Betty la Fea, novelatina idola ibu-ibu rumah tangga itu.

"Sori, aku membuat kamu jatuh," ucap Ella. Ray mengangkat bahunya.

"Heran. Aku lihat kamu habis dipukulin sama monyet hitam tadi. Kok kamu malah bisa-bisanya sana seperti itu?"

"Iya, orang tadi adalah mantan suamiku."

"Ha? Aku ngga pernah tahu kamu pernah punya suami?"

"Iya. Sedikit sekali yang tahu. Bagian dari masa muda."

"Mau cerita?"

"Kamu ngga pulang?"

"Toh aku nganggur."

"Percuma juga. Ngga ada yang perlu kamu ketahui."

"Hey? Aku sudah melihat apa yang terjadi. Setidaknya aku terlibat sampai sejauh kamu mendorong aku jatuh. Masa aku ngga boleh tahu?"

"Kamu.."

"Iya. Aku memang rewel sejak lahir. Usil juga sejak lahir. Omong-omong, ini sapu tanganku. Lap dulu bibir kamu," Ray berkata, lalu melempar dasi yang semenit lalu sudah dirogohnya dari saku celana.

"Ray, ini dasi."

"Wah?"

Ella tersenyum.

Ray terpesona.

"Oh, jadi umur enam belas tahun?" tanya Ray, sementara tangannya menarik keluar cangkir dari cofee-maker. Ella mengangguk. Saat itu ia sudah kembali menjadi Ella yang membosankan, lengkap dengan sanggul kecilnya, meskipun kacamata sudah tak menghiasi wajahnya lagi.

"Bodoh, kan? Dan hanya tiga tahun. Sebelum Eko pergi dengan gadis lain, karena aku mandul," ucap Ella, matanya menemukan mata Ray, menanti respon si pemuda. Ray tak menunjukkan sikap terlalu terkejut, tidak pula memandang dengan pandangan mencemooh atau sok simpati. Untuk Ray, masalah mandul atau tidak bukan menjadi suatu masalah yang patut diperbincangkan. Pemuda itu selalu berpendapat bahwa manusia tak ada yang sempurna, dan untuk itu semua orang harus bersyukur pada bagaimana ia diciptakan. Tak perlu dicaci, tak perlu juga dikasihani.

"Wah, sorry "bout that," ucap Ray datar," Lalu kenapa dia ada di sini?"

"Itulah, Ray," ucap Ella, nadanya berubah menjadi lebih rendah, "Suatu saat ia datang dan merasa bahwa dirinya ngga bisa hidup tanpa aku. Ia meninggalkan wanitanya yang baru, dan memintaku kembali padanya."

"Oh. Kapan itu?"

"Sekitar enam bulan yang lalu."

"Hmm," Ray menggumam, menghirup kopi dari cangkir di tangannya.

"Lalu? Kamu ngga mau, pasti?" tanya Ray kemudian.

Ella menganggukkan kepalanya.

"Aku sudah delapan tahun berpisah dengannya. Aku ngga ngerti kenapa ia bisa kembali setelah sekian lama."

"Coba kutebak," sahut Ray, "ia pasti pengangguran sukses, dan melihat kamu berkarir, ia mulai merasa menyesal mengapa ia menyia-nyiakan kamu."

"Mungkin."

"Memang kamu dulu begitu cinta padanya?"

"Aku baru enam belas tahun."

Ray tersenyum, melepaskan pengikat rambutnya dan berkata, "Menakjubkan kalau kamu bisa survive di umur sembilan belas, saat banyak orang lebih cenderung impulsif dengan bunuh diri karena cinta."

"Kan ngga semua orang, Ray. Apalagi aku sudah pasrah waktu aku tahu kalau aku ngga bisa kasih keturunan padanya."

"Iya, aku bisa ngerti. Tapi pria memang begitu, La. Begitu ia tahu ada seorang wanita yang begitu mencintainya, meskipun itu sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu, meskipun ia sudah membuat hati wanita itu hancur lebur, tetap saja ia yakin ia bisa membuat wanita itu kembali padanya."

Ella tersenyum. Ray tahu bahwa itulah senyuman getir seorang wanita.

"Lalu acara pukul-pukulan itu?" Ray bertanya, menangkap perubahan pada raut wajah Ella. Gadis itu tampak sedikit gugup.

"Itu.. ah, dia memang suka memukul."

"Aku kok ngga percaya?"

Ella memalingkan wajahnya menatap jam di dinding ruangan.

"Ray, sudah jam tujuh. Kita pulang, yuk? Ada Yossi di depan?"

Ray tertawa, "Yossi sudah kukasih uang sepuluh ribu buat jajan di soto depan. Hehehe, bercanda kok. Memang ada apa sampai kamu ngga bisa cerita?"

"Kenapa kamu mesti tahu? Aku saja sudah heran kenapa aku bisa berbincang dengan kamu segini lamanya tentang masalahku."
Ray menatap wajah Ella, memaksa gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"La," Ray berkata, "semua orang butuh seseorang untuk bercerita. Okelah, kalau kamu memang tak ingin orang itu aku.

Tapi, apa kamu sudah punya orang lain? Kalau sudah punya, baguslah. Kalau belum? Aku bukan orang yang susah diajak berbincang, kan? Aku juga bukan ember yang kalau diketok suaranya sampai ke negeri seberang."

"Aku..," Ella menggumam.

Ray tak mengalihkan pandangannya dari Ella. Gadis itu memalingkan wajahnya dan menatap Ray.

"Aku tak percaya sama kamu, Ray."

"Ngga? Hey, terserah kamu."

Mereka berdua saling tatap, sebelum akhirnya Ella menghembuskan nafas.

"Hhh. Oke. Aku kasih tahu."

Ray diam menunggu.

"Aku adalah simpanannya David. Eko tahu itu. Dia memerasku."

"Whups!!" Ray berseru, nyaris saja kopinya tumpah ke meja.

"Wawawawawa!! Tunggu dulu," Ray berseru, meletakkan cangkir kopinya ke atas meja dan merogoh Marlboro-nya.

Bersambung...


Keyword:

free xxx stories selamat pagi cinta 4

,

free adult story

,

hot sex story

,

horny stories

read adult story

,

adult sex stories

,

download ebook sex stories

free sex stories

,

horny pussy stories

,

story fuck pussy


Contact Me
Gesek.Info
Ndok.Net

2014©4crot.com


Contact Me | SiteMap